Kumpulan Artikel

Di halaman ini teman-teman dapat mendapatkan beragam informasi menarik seputar keluarga yang diambil dari berbagai sumber.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sabtu, 8 Januari 2011 | 16:56 WIB

80 Persen Anak Indonesia Berpikiran Negatif



JAKARTA, KOMPAS.com —  Hasil survei Pusat Inteligensia Kesehatan Kementerian Kesehatan menyatakan, mayoritas anak Indonesia berpikiran negatif yang dikategorikan sebagai pola pikir tidak sehat.
Orangtua pemarah bisa berpengaruh langsung ke kondisi kesehatan otak anak
-- Gunawan Bam
"Sebanyak 80 persen dari 3.000 responden menggambarkan cara berpikir negatif atau mental block. Ini adalah bentuk kegagalan pertumbuhan otak dari kecil," kata Kepala Subbidang Pemeliharaan dan Peningkatan Kemampuan Inteligensia Anak Kemenkes Gunawan Bam seusai temu media di Gedung Kemenkes, Jakarta, Jumat kemarin.
Pusat Inteligensia Kesehatan melakukan survei terhadap anak sekolah, dari tingkat SD hingga SMA, untuk mengetahui kondisi perkembangan otak anak Indonesia.
Kondisi pikiran yang serba negatif itu, ujar Gunawan, sebagai salah satu akibat dari "keracunan otak" akibat ulah orangtuanya. "Kondisi yang tidak kondusif. Orangtua pemarah bisa berpengaruh langsung ke kondisi kesehatan otak anak," katanya.
Ia mencontohkan, jika orangtua berbohong atau marah kepada anak, hal itu dapat menyebabkan otak anak menjadi menyusut. Kondisi semacam itu, jika diteruskan, akan mencegah terjadinya pertumbuhan otak normal.
"Ini adalah bentuk kegagalan dari kecil. Sama seperti anak tidak matang dalam merasa, meraba, melihat," ujar Gunawan.
Namun, ia mengatakan, hal itu bukannya tidak dapat diperbaiki. Beberapa perbaikan sensomotorik dapat dilakukan untuk kembali meningkatkan kesehatan dan perkembangan otak.
Kemenkes juga akan melakukan brain assessment kepada pegawai pemerintahan bekerja sama dengan Kementerian Aparatur Negara.
"Mudah-mudahan tahun ini akan kita mulai. Paling tidak akan kita awali tahun ini," kata Kepala Pusat Inteligensia Kesehatan Kemenkes dr Kemas M Akib Aman, SpR, MARS.
Tiga instrumen yang diamati dalam brain assessment itu adalah neuro-behaviour, psikologi dan psikiatri.
Metode yang dikembangkan Pusat Inteligensia Kesehatan ini telah divalidasi pada sejumlah responden di sembilan provinsi, yaitu Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Maluku, dan Nusa Tenggara Barat.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Jumat, 7 Januari 2011 | 13:18 WIB

Salah Menyusui Bikin Anak Susah Tidur?




KOMPAS.com - Salah satu tantangan terbesar bagi orangtua baru adalah, kurangnya jam tidur ketika baru mempunyai bayi. Bayi seringkali terbangun tengah malam dan membutuhkan ASI. Hal ini tidak hanya akan mengacaukan kualitas tidur Anda, tetapi juga kualitas tidur bayi.
Dari sejumlah penelitian, ditemukan bahwa masalah tidur bayi sebagian disebabkan oleh proses menyusui itu sendiri. Karena itu, dilakukan investigasi untuk mengungkap aspek-aspek yang berbeda dari menyusui, dan apa pengaruhnya, sehingga bisa mengacaukan rutinitas dan kebiasaan tidur bayi. Beberapa hasil penelitian tersebut adalah:

1. Mengombinasikan menyusui dan memberikan susu dari botol 
Gabungan botol dan menyusui berpotensi menyebabkan masalah tidur. Sebab setelah Anda menyusui, payudara akan memberikan sinyal pada otak bahwa Anda harus memproduksi lebih banyak susu untuk jadwal menyusui berikutnya. Namun jika Anda mengganti-ganti menyusui dengan memberikan susu lewat botol, Anda mengacaukan proses alami pada tubuh Anda, dan makin berkurang jumlah susu yang akan diproduksi. 

Kemudian ketika Anda menyusui si kecil, ia tidak akan mendapatkan cukup ASI karena tidak banyak yang diproduksi. Akibatnya bayi belum terpenuhi rasa laparnya, dan menuntut lebih banyak susu. Dengan demikian, ia akan lebih sering bangun di tengah malam untuk menyusu. 

2. Menyusui sampai si kecil tertidur
Hal ini bisa menyebabkan masalah pada pola tidurnya. Bayi akan menangkap bahwa Anda memberinya makan pada jam tidur, sehingga ia akan tergantung pada pembagian waktu ini. Setelah mengalami hal ini beberapa kali, bayi akan terjebak ke dalam rutinitas yang memang ia harapkan setiap menyusu. 

Untuk mencegah kebiasaan ini terjadi, cobalah untuk mengubah waktu, atau lamanya waktu, ketika Anda menyusui bayi pada jam tidur. Perlahan-lahan, Anda bisa menghilangkan kaitan antara menyusui dan jam tidur. Selain itu, Anda bisa menyusui si kecil lebih awal, sehingga bayi akan belajar untuk mulai tidur sesuai jam tidurnya sendiri.

3. Pola makan Anda
Sebagai ibu menyusui, apapun yang Anda minum atau makan akan memengaruhi ASI. Jika porsi makan Anda tidak "sesuai kuota" setiap harinya, ASI akan terpengaruh. Karena itu, usahakan Anda makan teratur tiga kali sehari, ditambah snack di antara jadwal makan tersebut. ASI harus memiliki jumlah kalori yang memuaskan, agar bayi merasa puas dan kenyang. Jika tidak, saat itulah bayi akan terus menuntut untuk makan, dan mengganggu tidurnya.
Jangan lupa untuk mengonsumsi makanan yang sehat, dan minum banyak air putih dan susu sepanjang hari. Hal-hal ini juga akan mendukung persediaan ASI. Semakin bayi merasa kenyang, semakin baik tidurnya.

4. Makanan padat membantu tidur bayi?
Kebalikan dari apa yang dipersepsikan selama ini, berbagai penelitian ternyata tidak menunjukkan adanya perubahan dalam pola tidur antara bayi yang diberi ASI atau susu dalam botol, dengan bayi yang mengonsumsi makanan padat. Selain itu, kebanyakan dokter tidak merekomendasikan makanan padat tambahan sebelum usia bayi enam bulan.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Jumat, 31 Desember 2010 | 14:50 WIB

Hak Anak Itu Ya Bermain...


KOMPAS.com - Bermain adalah hak anak. Hak ini kerap terlupakan karena dianggap  tidak penting. Padahal, dari bermain  orang tua akan melihat perkembangan anak.
Bermain merupakan suatu kegiatan yang bersifat intrinsik, kata Dra. Mayke S.Tedjasaputra, M.Psi. Artinya, sudah melekat pada anak dengan sendirinya. Sejak bayi, perilaku ini sudah muncul dalam bentuk memainkan tangan atau benda-benda di sekitarnya.
Sayangnya, menurut psikolog dan terapis bermain ini, bagi kebanyakan orang, kegiatan bermain sering dianggap tidak bermanfaat. Kadang, seperti ditulis dalam buku Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, naluri alamiah dan hak anak untuk bermain sering diabaikan.
Banyak orangtua melarang anak-anaknya bermain dengan alasan bermacam-macam. Takut bajunya kotor, takut terkena kuman, takut hitam, hingga takut anaknya tidak menjadi pintar karena kebanyakan bermain.
Anggapan keliru dan pengabaian semacam ini tentu berdampak negatif bagi anak. “Larangan bermain semacam ini bahkan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak anak karena bermain itu penting dan termasuk hak anak,” ujar DR. Seto Mulyadi dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, yang bisa dipanggil Kak Seto ini.
Paradigma bahwa bermain itu buruk harus diubah. Bermain menjadi modal tepat untuk kecerdasan intelektual maupun emosional. Mengutip Piaget dan Vygotsky, kegiatan bermain akan memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar dan mempraktikkan keterampilan hidup (life skill).
Bermain sebagai kegiatan yang menyenangkan menjadi cara paling utama bagi anak mempelajari berbagai hal. “Selain menyenangkan, bermain memiliki berbagai manfaat untuk perkembangan anak, baik dalam aspek fisik-motorik, kognitif, maupun sosial-emosional,” ujar Dra. Mayke, dosen psikologi di Universitas Indonesia.
Hal senada juga dikatakan oleh Kak Seto, bahwa bermain merupakan sarana yang baik untuk mengembangkan fungsi kognitif, afektif, serta psikomotorik anak. Karena itu, kata DR. Tjut Rifameutia, saat anak sedang mau bermain biarkan mereka bermain. “Beri kesempatan kepada anak untuk bermain, sehingga orangtua tahu perkembangan anak. Orangtua jangan cemas berlebihan,” katanya.
Tak melulu aktivitas fisik
Membuat pernak-pernik atau menjahit, menjadi cara untuk memperkuat motorik halus. Begitu pula dengan mewarnai dan pelajaran prakarya di sekolah. Menulis halus dengan huruf Latin bagi anak-anak Indonesia, atau menulis huruf kanji bagi anak-anak Jepang juga merupakan cara melatih motorik halus. Anak dengan motorik halus yang baik akan menulis dengan baik menggunakan tangannya.
Lain halnya jika anak bermain kejar-kejaran, ia sedang memperkuat motorik kasar. Kegiatan tersebut tak hanya jadi monopoli anak laki-laki. Anak perempuan juga perlu belajar berlari-lari agar motorik kasarnya terlatih.
Saat anak menjatuhkan bola dan telur misalnya, mereka akan menemukan hal-hal baru. Bola akan melenting saat dilemparkan ke lantai, sedangkan telur malah akan pecah. Dari hal ini, anak menjadi tahu sesuatu yang baru dengan mencoba.
Dengan bermain, anak juga belajar estimasi, mengembangkan pola kognitif, konsep dalam hal pola hidup, toleransi, mengenal aturan, serta bertenggang rasa. Bermain akan membuat nilai-nilai tersebut lebih masuk dan meresap dalam diri anak.
Kak Seto mengingatkan, bermain tak melulu dalam bentuk aktivitas fisik. Saat anak sakit misalnya, mereka tak bisa aktif secara fisik. Mendongeng bisa menjadi bahan permainan. Pun, kalau situasi tidak memungkinkan, bermain bisa dilakukan di dalam rumah. Setelah selesai bermain, orangtua bisa mengajak anak untuk membereskan dan membersihkan mainannya.   
“Prinsipnya, bermain itu harus spontan dan menyenangkan, tidak membuat anak jemu dan sebal dengan permainan yang dilakukan. Bila anak lebih senang mencari ikan kecil di sungai ketimbang di kolam, mereka tetap diperbolehkan bermain. Tentu dengan tetap memperhatikan keselamatan dan kesehatan,” ujar Kak Seto.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rabu, 24 November 2010 | 15:09 WIB
Sisi Gelap Gadget dan Video Games untuk Anak


Kompas.com - Anak-anak sekarang memang lebih cepat menguasai perangkat digital. Sejak kecil mengakrabi gadget dan tumbuh di dunia yang menawarkan berbagai kemudahan komunikasi tentu mendatangkan pengaruh bagi tumbuh kembangnya.  Apa saja yang perlu diwaspadai orangtua?


Anak-anak dan remaja saat ini merupakan golongan masyarakat yang digital native. Menurut Kahardityo, peneliti dari Pusat Kajian Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, (Kompas/8/2/10) para digital native ini adalah penduduk asli di dunia digital. Mereka lahir dan tumbuh di era digital yang menjadikan mereka memiliki cara berpikir, berbicara dan bertindak, berbeda dengan generasi sebelumnya yang diibaratkan sebagai digital immigrant. 


Keberadaan gadget dan internet saat ini memang membuat anak-anak lebih pintar karena tak terbatasnya pengetahuan yang bisa didapatkan anak. Namun, ada pula sisi negatif yang mengintai. Para pakar mengkhawatirkan para digital native ini cenderung tidak memiliki kecerdasan sosial.


Mayke S.Tedjasaputra, pengajar senior di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengungkapkan, seorang anak memerlukan persentuhan dengan objek yang nyata.
"Permainan digital sudah punya desain khusus. Anak-anak perlu bermain dengan teman dan objek yang nyata supaya mereka bisa belajar melakukan problem solving yang tidak diduga, bukan seperti video games yang sudah ada desainnya," paparnya.


Lewat kegiatan bermain, anak akan mendapatkan banyak pengalaman baru. "Kemampuan anak baru pra operasional, karena itu anak perlu melihat, meraba, menyentuh, dan mengeksplorasi suatu objek secara langsung," terang Mayke.


Mayke menambahkan, gadget, elektronik games yang bersuara, bergerak dan berwarna bisa memberikan stimulus yang terlalu kuat pada anak. Jika sejak usia dini anak sudah terbiasa dengan perangkat digital, dikhawatirkan anak akan malas ketika distimulasi dengan kegiatan belajar yang statis. "Bila sudah terbiasa pada permainan digital yang dinamis tentu anak akan malas melihat huruf-huruf yang statis," urainya.

Dampak negatif dari permainan video games, terutama yang mengandung kekerasan, ini sudah sejak lama disuarakan para ahli. Berbagai penelitian mengaitkan dampak video games pada pembentukan perilaku dan moral anak.

Belakangan para orangtua juga bisa mendapatkan software edukatif untuk anak yang sifatnya merangsang kemampuan belajar anak. Mengenai hal ini Mayke mengatakan boleh saja orangtua memberikan pada anak, tapi tidak pada usia terlalu dini.

Ia menyarankan agar orangtua baru memperkenalkan anak pada perangkat digital setelah anak berusia lima tahun. "Sebelum usia itu takutnya anak mengalami gangguan otot mata karena harus fokus ke satu layar selama berjam-jam. Ini bisa berpengaruh pada kemampuan membaca anak," imbuh playtherapist ini.

Mayke mengakui memang tidak mudah menjauhkan anak dari dunia teknologi dan gadget. Untuk itu ia menyarankan agar orangtua membatasi anak-anaknya dalam mengeksplorasi kecanggihan perangkat digital dan lebih mendorong anak pada permainan yang lebih variatif dan menyenangkan. "Untuk tumbuh sehat anak perlu terus bergerak," katanya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rabu, 24/11/2010 15:22 WIB

Awas! Trauma Bisa Menurun ke Anak Cucu


Jakarta, Bencana alam dan serangan teror tak hanya menyebabkan gangguan psikologis, tetapi juga berdampak secara biologis. Trauma yang dirasakan para korban bisa memicu perubahan struktur DNA, sehingga bisa diturunkan pada anak cucu pada generasi berikutnya. 

Hal ini terjadi pada keturunan para korban yang selamat dalam tragedi Holocaust atau pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi. Meski tidak mengalaminya langsung, sebagian besar di antaranya memiliki kadar kortisol rendah yang umumnya dipicu oleh post traumatic stress disorder (PTSD). 

Dalam penelitian yang lain, Prof Eric Richard dari University of St Louis mengungkap pola serupa pada para korban Perang Dunia II. Keturunannya terutama yang berjenis kelamin perempuan punya risiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita schizophrenia (gila). 

Kedua contoh tadi menunjukkan bahwa trauma bukan sekedar gangguan psikologis. Gangguan ini diyakini memberikan dampak secara biologis, sebab satu-satunya faktor yang menentukan sifat yang diturunkan adalah struktur DNA atau deoksiribo nuleus. 

Para ahli menduga, fenomena ini terjadi karena trauma memicu perubahan pada struktur DNA. Perubahan itu disebut metilasi DNA, yakni penambahan atau pengurangan gugus metil salah satu gen pada seseorang yang mengalami trauma. 

Untuk membuktikan dugaan tersebut, Prof Isabel Mansuy dari University of Zurich melakukan eksperimen dengan tikus. Dikutip dari Telegraph, Rabu (24/11/2010), ia memisahkan anak tikus dari induknya yang mengalami stres, untuk digabungkan dengan tikus sehat. 

Ternyata dalam perkembangannya, anak-anak tikus itu lebih mudah mengalami stres meski tidak tinggal satu kandang dengan induknya yang memang memang stres. Artinya anak-anak tikus itu mewarisi faktor risiko untuk lebih mudah stres.



Detik.com. Rabu, 24/11/2010 11:59 WIB

Ancaman Kesehatan Pada Anak yang Orangtuanya Cerai

Kanada, Perceraian yang dilakukan pasangan menikah tak hanya merugikan kesehatan psikis tapi juga kesehatan fisik bagi keduanya tapi juga pada anak-anak. Ancaman kesehatan pada anak yang orangtuanya bercerai ini lumayan serius.

Sebuah studi baru menunjukkan bahwa anak-anak dari orangtua yang bercerai lebih rentan menderitapenyakit stroke.

Selama ini faktor risiko stroke selalu berkaitan dengan obesitas (kegemukan), merokok atau diabetes. Tapi untuk pertama kalinya peneliti memasukkan perceraian sebagai faktor risiko stroke pada anak di kemudian hari.

"Studi ini dapat menjelaskan dampak dari perceraian orangtua terhadap anak-anak. Stres sejak kanak-kanak karena orangtuanya bercerai akan berdampak pada kesehatan anak saat dewasa," jelas Esme Fuller-Thomson, profesor kedokteran dan keperawatan di University of Toronto, dilansir MSN News, Rabu (24/11/2010).

Prof Fuller-Thomson menjelaskan bahwa perceraian orangtua dapat meningkatkan risiko stroke anak di kemudian hari menjadi dua kali lipat.

"Tapi studi ini tidak menyimpulkan bahwa anak-anak dari orangtua yang bercerai ditakdirkan untuk menderita stroke," jelas Prof Fuller-Thomson.

Temuan ini berdasarkan hasil survei pada lebih dari 13.000 orang yang tinggal di Kanada, yang juga merupakan bagian dari 2005 Canadian Health Survey.

Menurut Prof Fuller-Thomson, ada beberapa hal yang mengaitkan antara perceraian dan risiko stroke, yang paling utama adalah stres berat masa kecil.

"Stres berat di masa kecil dapat mengubah perkembangan tubuh dan mengganggu keseimbangan hormon dalam tubuh, yang pada gilirannya akan membuat orang akan lebih rentan terhadap serangan berbagai penyakit dari waktu ke waktu," jelas Prof Fuller-Thomson lebih lanjut.

Temuan ini telah dipublikasikan dalam pertemuan Gerontological Society of America meeting di New Orleans pada hari Senin lalu.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Detik.com, Selasa, 23/11/2010 12:51 WIB

Pola Makan Anak Terganggu Ketika Orangtuanya Cerewet

London, Sikap orangtua yang terlalu suka mengatur ketika duduk bersama di meja makan dapat mempengaruhi pola makan anak. Ada yang jadi suka pilih-pilih makanan, ada juga yang malah suka makan berlebihan.

Adanya pengaruh sikap orang tua terhadap pola makan anak telah dibuktikan lewat berbagai penelitian. Salah satunya dilakukan oleh ilmuwan dari University College London terhadap 213 ibu yang memiliki anak usia 7-9 tahun.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal American Dietetic Association ini mengungkap, anak cenderung suka pilih-pilih makanan ketika ibunya terlalu banyak mengatur. Misalnya harus makan pada jam-jam tertentu, harus mencuci piring sendiri atau harus dikunyah berapa kali sebelum ditelan.

Sementara ketika orangtua terlalu membatasi anaknya saat makan, si anak makan lebih lahap ketika ada kesempatan sehingga rentan mengalami obesitas saat dewasa. Misalnya ketika dilarang makan cokelat, keinginan untuk makan cokelat dilampiaskan dengan makan sebanyak-banyaknya jenis makanan yang tidak dilarang.

"Anak-anak lebih bisa menikmati makanannya ketika orangtua tidak banyak memberinya tekanan," ungkap Jane Wardle dari University College London, seperti dilansir Msnbc, Selasa (23/11/2010).

Namun Wardle tidak ingin buru-buru menyimpulkan bahwa sikap orangtua yang terlalu mengatur adalah pemicu gangguan pola makan pada anak. Sebab bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya, sikap orangtua yang semacam itu justru merupakan respons atas pola makan anaknya yang tidak sehat.

Perilaku pilih-pilih makanan dan kecenderungan untuk makan berlebihan merupakan 2 jenis gangguan pola makan yang banyak dijumpai pada anak. Keduanya bisa memicu ketidakseimbangan nutrisi, atau bahkan risiko yang lebih serius seperti gangguan metabolisme.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Selasa, 23 November 2010 | 13:40 WIB

Anak Tak Boleh Diet Rendah Lemak



KOMPAS.com — Anak-anak masih membutuhkan lemak cukup banyak untuk mendukung pertumbuhannya. "Karena itu, mereka tidak boleh menjalani diet rendah lemak," kata dokter ahli gizi, dr Fiastuti Witjaksono, Sp.GK. Meskipun begitu, bukan berarti orangtua bebas memberi anak lemak jenuh tanpa batas. Pilihkan lemak baik untuk anak, yaitu lemak tak jenuh tunggal dan ganda. Contohnya, hilangkan kulit dari daging ayam yang diberikan untuk anak.

Agar tumbuh kembang anak optimal, orangtua wajib memberi nutrisi sesuai kebutuhan anak. Lalu, bagaimana mengetahui kebutuhan gizi kita dan anak-anak sudah pas? "Mudah, ini bisa dilihat dari berat badan. Nutrisi sudah cukup untuk tubuh apabila berat badan pas. Berat badan berlebihan dan naik terus mendandakan jumlah makanan berlebihan. Tubuh terlalu kurus berarti jumlah makanan masih kurang," jawabnya.

Belakangan ini tak sedikit anak yang hanya mau makan mi instan. Bagaimana dari sisi kebutuhan nutrisi? "Kalau mi saja, anak hanya makan karbohidrat. Menu makanan sehat harus ada lauk pauk sumber protein, dan sayur. Usahakan makan mi ditambah telur dan sayur. Makanan sehari-hari hendaknya terdiri dari karbohidrat 60 persen, protein 15-20 persen, dan minyak 30 persen," katanya.

Mi berbahan terigu, yaitu gandum proses atau karbohidrat sederhana yang kurang baik manfaatnya untuk kesehatan. "Orang yang berusaha hidup sehat memilih karbohidrat kompleks, seperti gandum atau beras merah," ungkap dr Fiastuti.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jangan Lupa Waktu yaa...

Jadwal Shalat Jakarta dan Sekitarnya

Blogging gak bisa menghasilkan uang? Siapa bilang? Coba klik deh...